Di Liang Lahat Pun Aksi Intoleransi Terjadi

Mafhum, bukan termakbul

Ketua Umum PP Muhamadiyah Haedar Nashir dalam pernyataan tertulis yang disampaikan di Yogyakarta, Kamis (2/4/20), meminta masyarakat untuk tak menolak pemakaman jenazah korban virus corona. Dia menilai penolakan warga mungkin karena kepanikan berlebihan dan belum mengerti. Oleh karena itu, dia meminta aparat dan pemuka agama untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat. Apakah memang oleh karena fobia tertular? Tentang ketakutan tertular itu bisa kita baca pendapat Dr. Lipur Riyantiningtyas dari Instalasi Kedokteran Forensik di RSUP dr.Sardjito Yogyakarta, mengatakan, setiap jenazah pasien dalam pengawasan atau yang sudah dinyatakan positif virus corona, yang akan dimakamkan sudah aman. Prosedur keamanan sudah dimulai sejak korban dinyatakan meninggal di bangsal hingga dibawa ke kamar jenazah. “Jadi pada saat di bangsal, petugas dari kamar jenazah datang, itu sudah membawa peralatan untuk melakukan disinfektan terhadap jenazah tersebut,” sebut Dr Lipur.

Tetapi jika beracu pada nurani, seharusnya di masa seperti sekarang, pandemi melanda, setiap warga harus mafhum, memahami bahwa keadaan ini disadari bukan keadaan normal. Lebih-lebih pada masa pandemi Covid-19 sekarang ini, di mana setiap orang harus benar-benar menerapkan prokes secara ketat, agar tetap sehat, dan dapat ikut serta memutus rantai penyebaran virus tersebut. Jelas ini masa sulit, ujian, karenanya kita semestinya bertobat dan meninggalkan kesombongan, keangkuhan dan lebih mendekatkan diri serta tunduk kepadaNya. Berkesadaran toleransi, dan jadi cara kita untuk bisa kembali ke jalan yang benar.

Barangkali keadaan ini mengingatkan kita, bisa jadi Tuhan sengaja izinkan Covid-19 melanda dunia, sebagai tanda agar kita berpaut erat kepadaNya dan untuk tak menghina sesama ciptaanNya. Apalagi setiap manusia pasti menghadapi kematian setelah hidup, jangan merasa hidup akan selamanya. Lagi-lagi masing-masing orang harus sadar bahwa satu waktu dia kembali pada penciptaNya.

Akhirnya, isu intoleransi nasional yang menguap selama masa pandemi ini harus terus dikritisi. Sekali lagi, masa pandemic semestinya ruang pengasuhan hati, mengoreksi diri, mengasuh kepekaan nurani, bahwa kita yang diciptakan berbeda-beda membuat perbedaan itu membeda-bedakan. Mestinya mafhum, bukan termakbul oleh ketakaburan, utamanya soal hubungan kemanusiaan kita, agar kita tak jumawa, sebab perbedaan itu rahmatNya. (Hojot Marluga)

Hojot Marluga

Belajar Filosofi Air

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

two × four =