Hari Ulos Nasional Dirayakan Masih Sebatas Regional

Nir-makna
Dalam adat istiadat Batak kain, kain ulos ternyata juga sarat akan makna filosofi yang mendalam, namun banyak yang belum memahami makna tersebut. Ulos sendiri bermacam-macam fungsi dan kegunaan. Ada ulos yang tak boleh sembarangan dipakai oleh karena ulos tersebut ulos namartohonan.
Adalah Hardoni Sitohang seorang pelestari dan pengiat musik tradisi Batak, yang selalu mengenakan talitali dalam bermusik. “Menurut saya pendapat-pendapat yang disampaikan tidak menyentuh kepada titik sasaran, nir makna. Tentu yang menjadi tujuan utama kita bukan perayaan, tetapi bagaimana memahami esensi ulos itu,” ujarnya. Hardoni sendiri berkali-kali meminta bertanya di zoom tak ditanggapi panitia.
Hardoni contohkan penggunaan talitali, kain ulos yang digunakan mengikat kepala. “Apakah kita tahu mengapa harus digunakan talitali? Itu bukan hanya soal pengikat kepala, tetapi sebagai lambang mengikat pikiran, agar fokus dan tak mudah emosi,” ujarnya sembari menambahkan, “Memakai talitali itu selalu dipakai oleh kaum lelaki, digunakan bukan hanya pada masa saat upacara ritual, upacara budaya baru memakai talitali, tetapi digunakan juga saat acara biasa dan berkerja sehari-hari.”
Dia pun menceritakan, dalam sejarahnya pembuatan ulos itu tak mudah, perlu ada kerjasama. Sang suami harus membantu istri untuk menenun, tugas suami mencari pewarnaan alam ke hutan. Hutan yang kita tahu dulu masih angker dan sangat banyak hewan buas. Maka untuk membuat ulos dibutuhkan pengorbanan dan kerjasama yang erat.
Hardoni juga merasa pembicara terkesan menyudutkan generasi muda, kaum milenial tak suka produk budaya. “Saya mau sampaikan, pertanyaan kita sekarang, pertanyaan berbalik apakah orang tuanya sendiri sudah mengajarkan dengan baik filosofi ulos kepada anak-anaknya? Apakah kita sudah menyampaikan maknanya? Sudahkah pemahaman ulos itu disampaikan kepada generasi muda oleh para senior? Janganlah selalu tendensi bagi kaum muda, harus merangkul mereka untuk melek budaya tentu dengan teladan yang baik dari orangtua. Bukan selalu mempersalahkan generasi muda,” sebutnya.
Tentu kita sepakat ulos sebagai karya budaya yang awalnya dibuat nenek moyang, dan diwariskan kepada kita generasi sekarang, harus terus dijaga dan dilestarikan dengan tak lupa menstransfomasinya jadi produk budaya modern dan menjaga nilai-nilainya tetap bestari. Dan terpenting kita sama-sama bergandengan tangan, jangan terkotak-kotak dalam memperjuangkan ulos untuk terdaftar di UNESCO dan jangan ulos hanya dibicarakan di tataran regional, padahal perjuangan untuk dikenal di dunia internasional. (Hojot Marluga)