Reuni Akbar Jurnalis Alumni Merdeka dan Rakyat Merdeka: Mewujudkan Pemerintahan yang Transparan dan Akuntabel
Suaratapian.com-Pemerintah Indonesia saat ini menghadapi tantangan serius dalam implementasi otonomi daerah, terutama dengan adanya resentralisasi yang mengurangi kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya alam dan keuangan daerah. Hal ini berpotensi menghambat pencapaian Visi Indonesia Emas 2045 yang bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara maju, berdaulat, dan berkelanjutan. Kesenjangan Fiskal. Perbedaan kemampuan keuangan antar daerah dapat menyebabkan ketimpangan pembangunan. Kapasitas Sumber Daya Manusia. Keterbatasan SDM yang berkualitas dapat menghambat efektivitas pengelolaan otonomi daerah. Ketimpangan Pembangunan. Pembangunan yang tidak merata antar wilayah dapat memperlebar kesenjangan.
Sinergi Pusat dan Daerah perlu ditingkatkan. Perluasan kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah untuk meningkatkan efektivitas pembangunan. Pemberdayaan Daerah. Meningkatkan kapasitas dan kewenangan daerah dalam mengelola sumber daya alam dan keuangan daerah demi pembangunan yang berkelanjutan. Mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam pembangunan daerah.
Dalam konteks ini, peringatan Hari Otonomi Daerah ke-29 dengan tema “Sinergitas Pusat dan Daerah Membangun Nusantara Menuju Indonesia Emas 2045” menjadi momentum penting untuk mengevaluasi dan memperkuat komitmen terhadap desentralisasi yang efektif dan berkeadilan.
Acara “Reuni Akbar Jurnalis Alumni Merdeka dan Rakyat Merdeka” yang berlangsung di Hotel Ambhara, Blok M, Jakarta Selatan, pada Minggu, 22 Juni 2025, menjadi wadah diskusi penting bagi para jurnalis dan pengamat politik. Dalam sharing session yang digelar, beberapa narasumber terkemuka hadir untuk membahas isu-isu krusial yang dihadapi oleh Indonesia saat ini.
Narasumber yang hadir antara lain Dr. Selamat Ginting, pengamat politik dari Universitas Nasional (Unas), yang memberikan perspektif mendalam tentang dinamika politik di Indonesia. Dr. Yoki Yusanto, pengamat komunikasi politik dari Universitas Tirtayasa (Untirta), yang membahas strategi komunikasi politik yang efektif dalam konteks pemerintahan saat ini. Herik Kurniawan, Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), yang berbagi pengalaman dan pandangan tentang peran jurnalis dalam menyajikan informasi yang akurat dan berimbang. Dr. Teguh Santosa, Direktur GREAT Institute, yang memberikan analisis tentang isu-isu strategis yang mempengaruhi pembangunan nasional.
Diskusi yang berlangsung dalam acara ini memberikan wawasan berharga tentang berbagai aspek kehidupan politik dan sosial di Indonesia, serta menawarkan solusi konstruktif untuk menghadapi tantangan yang ada. Dengan demikian, “Reuni Akbar Jurnalis Alumni Merdeka dan Rakyat Merdeka” menjadi platform yang efektif untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman, serta memperkuat komitmen untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Keempat narasumber tersebut memiliki latar belakang sebagai mantan jurnalis dari Harian Merdeka dan Rakyat Merdeka, yang memberikan mereka perspektif unik dalam menganalisis isu-isu politik dan pemerintahan di Indonesia. Menurut Dr. Selamat Ginting, pengamat politik dari Universitas Nasional (Unas), Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Cipta Kerja telah menjadi salah satu faktor yang memperkecil peran daerah dalam mengelola dan mengatur wilayahnya.
Kedua undang-undang ini memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah pusat, sehingga batasan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah menjadi kabur. Hal ini berpotensi menghambat efektivitas otonomi daerah dan mengurangi kemampuan daerah untuk mengelola sumber daya alam dan keuangan daerah secara optimal.
Dengan demikian, perlu dilakukan evaluasi dan penyesuaian terhadap undang-undang tersebut untuk memastikan bahwa otonomi daerah dapat berjalan efektif dan daerah dapat memiliki kewenangan yang cukup untuk mengelola wilayahnya.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pendapatan asli daerah (PAD) semakin menurun setelah diberlakukannya Undang-Undang No 23 Tahun 2014 dan Undang-Undang Cipta Kerja. Pada tahun 2022, PAD hanya mencapai 30% dari total pendapatan daerah, sedangkan pada tahun 2014, angkanya masih mencapai 40%. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan resentralisasi yang diterapkan oleh pemerintah pusat telah berdampak negatif pada kemampuan daerah untuk mengelola sumber daya alam dan keuangan daerah.
Dr. Selamat Ginting menyatakan bahwa kasus penambangan nikel di Raja Ampat dan polemik empat pulau di Aceh adalah bukti nyata dari resentralisasi yang terjadi saat ini. Resentralisasi ini berpotensi memunculkan kelompok kepentingan di sekitar pengambil keputusan pusat dan meningkatkan potensi penyalahgunaan wewenang atau praktik oligarki.
Dr. Yoki Yusanto menambahkan bahwa semakin mengecilnya kewenangan daerah menunjukkan gejala resentralisasi, di mana peran pemerintah pusat semakin mendominasi seperti di masa Orde Baru. Hal ini menyebabkan pemerintah daerah semakin sulit untuk mengelola sumber daya alam dan keuangan daerah dengan efektif. Padahal, jika daerah diberi kewenangan lebih besar, peluang untuk memajukan daerahnya otomatis akan semakin besar pula.
Jika daerah maju, maka Indonesia akan maju juga. Kemajuan daerah akan berdampak positif pada perekonomian nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah pusat untuk memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengelola sendiri urusan pemerintahan.
Dr. Teguh Santosa menambahkan bahwa peran daerah yang lebih besar akan semakin membuka peluang daerah untuk berkontribusi dalam mencapai visi Indonesia Emas 2045. Dengan pemerintahan yang lebih desentralisasi, daerah akan dapat mengelola sendiri sumber daya alam dan keuangan daerah, sehingga meningkatkan kemandirian dan kemajuan daerah. (Hojot Marluga)