Batak Tulen Pasti Tak Kehilangan Jati Diri,  Dan Jadi Bagian Masyarakat Modernisasi Dalam Interaksi Global


Notice: Undefined index: margin_above in /home/suaratap/public_html/wp-content/plugins/ultimate-social-media-icons/libs/controllers/sfsiocns_OnPosts.php on line 652

Notice: Undefined index: margin_below in /home/suaratap/public_html/wp-content/plugins/ultimate-social-media-icons/libs/controllers/sfsiocns_OnPosts.php on line 653

Kita butuh narator, narasi yang bagus untuk menceritakan siapa Batak itu. Belum banyak tokoh-tokoh Batak yang melakukan itu, berkoar-koar, misalnya kita sebutlah mendengungkan apa itu Batak. Saya teringat, ada sosok, misalnya, justru bukan orang Batak naratornya, Bapak Soekirman, filosofinya bagus. Karena itu, bagaimana kita secara simultan dan militan untuk punya narator bagus, punya narasi bagus tentang budaya kita?

Jadi gini. Tokoh-tokoh yang kita harapkan ini memahami itu. Ada penguasaan tentang kebatakan. Lalu, dia punya sikap yang benar dan bisa memahami situasi yang ada. Apa yang dihadapi orang Batak, sekarang misalnya, saya terkesan juga dengan Pak Sukirman. Pak Sukirman itu mengapa bisa begitu, karena pada dasarnya kepribadian, lingkungan Pak Sukirman itu, katakanlah dari sebagai etnik Jawa, dia punya kekuatan kesadaran budaya di sana dan dengan bergaul dalam hidup di Sumatera Utara dia lihat ini ada ruang-ruang dan juga kesempatan bagi beliau, dengan keprihatinnya membuka kesadaran budayanya secara, khusus Batak.

Tentu saja kesadaran budaya Jawanya juga saya yakin beliau sangat tinggi, tetapi sebagai orang yang menghayati, apa itu budaya, budaya itu adalah mengenai diri. Maka, kalau orang kehilangan budaya kehilangan segalanya, kehilangan jati dirinya. Karena itu ada tema, ada penguatan identitas dalam interaksi global. Orang yang pecundang itu adalah orang yang kehilangan identitas.

Ada ungkapan begini, makin cerdas seseorang, makin tercerahkan dia, dia akan mencari identitasnya. Mencari asal usulnya, bagaimana pendapatnya?

Saya merasakan itu. Iya, semakin jauh kita melangkah, iya itu semakin ingin menoleh ke belakang. Semacam proses alami, dan kita bisa lihat yang lain, atau komunitas budaya lain yang ada di Indonesia. Mereka tak bisa kita membatasi dengan itu, karena itu naluri kemanusiaan. Jadi, makanya, tadi saya lihat, misalnya saya saksikan musik-musik tradisi. Saya hanya sampai usia tertentu di Sumatera Utara, tetapi setelah mendengarkan lagu itu membangkitkan kembali memori saya. Nah, intensitas kita, mengakses hal-hal yang pernah ditanamkan kepada kita akan menyadarkan kita, membangkitkan kesadaran budaya dan nanti dengan proses selanjutnya, kita akan dipulihkan. Jadi, perlu ada pemulihan budaya lagi, masyarakat Batak yang masih mengaku Batak dengan cara seperti ini dengan event-event lain.

Lalu, bagaimana kita juga memanfaatkan punguan marga, ketua-ketua marga yang saya tahu, salah satu marga terbesar di Batak adalah marga Sinaga. Bagaimana punguan Sinaga ini secara masif mendengungkan budaya Batak?

Kebetulan saya salah satu pengurus pusat di punguan Sinaga, saya salah satu anggota dewan pakar. Saya melihat ini bagian yang strategis, yang bisa saya bacakan di sana, dan kita juga sudah lalukan, kita bicara juga tentang revitalisasi dan pelestarian budaya. Jadi, itu sebabnya salah satu peran intelektual, intelektual itu adalah orang yang mampu melihat persoalan dan bisa merumuskannya. Jadi intelektual Batak saya kira perlu dibangkitkan, diajak untuk memikirkan kemaslahatan, tidak hanya untuk dirinya. Nah, kita di sini mencoba menyadarkan ini. Kalau terjadi krisis budaya, maka yang punya dosa itu intelektual. Orang yang sekolah, mulai sekarang jangan lagi sekedar sekolah untuk dirinya tetapi sekolah untuk untuk keluarga, tetapi juga untuk masyarakat dan bahkan, untuk budaya Batak. Karena itu, payung besarnya.

Jadi, makna hidupnya ada bukan hanya untuk dirinya, untuk masyarakat, begitu?

Terlalu sayang budaya yang begitu luhur dan banyak nilai-nilai dalam budaya Batak diabaikan, atau ditelan oleh globalisasi. Itu sebabnya saya katakan tadi, temanya itu “penguatan identitas.” Nilai-nilai di sana, nilai-nilai interaksi, nilai-nilai budaya dalam konteks interaksi global. Kita tidak lagi sendiri di dunia ini, makanya di awal ditanya tentang aksara Batak, maka jangan kita buat jadi barang beku, berangkat dari diri sendiri, kembangkan sesuai dengan dinamika teknologi informasi, dan bahkan interaksi budaya.

Kita bisa belajar, juga dari budaya lain yang positif untuk mengangkat memajukan dan juga menjadi bagian dari masyarakat Batak yang solid, masyarakat bangsa nasional dan masyarakat global. Karena itu, saya terkesan dari beberapa pimpinan diaspora dari berbagai Negara, Jepang, New York, Jerman juga dari Belanda memberikan sambutan yang hangat. Satu pertanda bahwa semangat budaya itu hadir bagi orang Batak, baik di Indonesia, di Sumatera Utara, di Toba maupun di berbagai Negara. (Hojot Marluga)

Hojot Marluga

Belajar Filosofi Air

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

nine + one =