Hokky Situngkir: Bukan Masanya Ilmuwan Tak Memiliki Pemikiran Konsep “Tuhan”
Sebagai seorang ilmuwan, dari sudut fisika bagaimana Anda menjelaskan agama?
“Sains” dan “Agama” itu dua hal yang sangat berbeda dan pada dasarnya tidak berhubungan. Maka, mempertentangkan keduanya itu sia-sia. Hanya saja keduanya sering membicarakan tentang suatu hal yang berkaitan, sehingga seolah-olah berhubungan. Sains, baik fisika, biologi, kimia, dan sebagainya berusaha menjawab pertanyaan “bagaimana” agar kualitas peradaban kita lebih baik, sementara agama, berusaha menjawab pertanyaan “mengapa” agar kualitas perilaku dan kejiwaan kita lebih baik.
Ada analogi seperti ini, seorang pemain sepak bola dan seorang komentator sepak bola di layar kaca. Sains itu seperti seorang komentator, selama ia mengomentari pertandingan sepak bola ia mungkin dapat memberi pencerahan tentang pola permainan, strategi, dan sebagainya. Tapi komentator tidak akan bisa benar-benar mengetahui dinamika ekspresi emosional, pola gerak individual, dan olah tubuh personal dalam mengelola bola antara satu pemain dengan pemain lainnya demi mencetak gol, termasuk ketegangan-ketegangan dalam bermain di lapangan.
Komentator tidak bisa menjustifikasi personal-personal pesepak-bola. Di sisi lain, seorang pesepakbola pun tentu tak perlu menjustifikasi komentar-komentar atas permainan kesebelasan mereka, karena sepak bola, bagaimanapun adalah olahraga tim. Meskipun sama-sama soal sepak bola, keduanya berbeda.
Memahami jagat raya ini tentu amat kompleks. Kemudian dengan sains menjadikannya sederhana. Namun terkadang sains sering terjebak pada tataran logika. Naifnya, ada sampai pada pemikiran tak ada Tuhan. Sebagai anak seorang pendeta, bagaimana Anda menjalankan sains, tetapi tetap percaya Tuhan?
Saya harus mengoreksi pandangan bahwa “sains terjebak pada tataran logika semata”, karena itu tidak benar. Justru pandangan tersebut adalah bentuk ke-naif-an atas sains. Melakukan sains dengan benar adalah justru “mengikuti” logika semesta, yang dilakukan melalui eksperimen, kajian teoretis, dan sebagainya. Melakukan sains adalah meng-insyafi bahwa sains-lah yang harus “mengikuti” perilaku alam semesta, karena alam semesta tidak mungkin mengikuti “logika-logika” sains.
Dasar dari sikap ilmiah adalah “skeptisisme”, meragukan apapun demi bisa dilakukan pengujian-pengujian baik secara eksperimental maupun teoretis. Bahkan, seorang ilmuwan terkadang perlu meragukan dirinya sendiri demi menjaga obyektivitasnya. Secara pribadi, saat sains saat ini terkagum-kagum dan menjadi saksi betapa luar biasanya kompleksitas semesta alam dan sosial yang ada, sudah bukan masanya lagi hari ini seorang ilmuwan tidak memiliki pemikiran akan konsep “Tuhan”. Tuhan merupakan “wujud” hukum-hukum semesta alam yang menjadikan kehebatan kosmos semesta alam dan sosial ini.
Lagi pula, seorang komentator sepak bola tentu boleh menjadi pemain sepak bola, dan seorang pemain sepak bola juga bisa menjadi seorang komentator yang mengomentari jalannya sebuah pertandingan sepak bola, kan?
Sewaktu kecil apa yang diajarkan oleh orangtua soal passion?
Saya adalah seorang yang beruntung karena orangtua dan keluarga tak banyak mengajarkan dan bernasihat ini dan itu. Tapi saya mendapat banyak teladan hidup dari ayah, ibu, hingga generasi kakek dan nenek saya tentang bagaimana passion, pelayanan, dan dedikasi. Melihat orangtua saya, saya kira bukan hanya saya yang dapat mengambil pelajaran dan teladan, tapi juga orang-orang lain dalam pelayanan mereka. Lebih jauh, yang dibutuhkan seorang anak tentu bukanlah nasihat, tapi justru adalah teladan, ya?!
Menurut Andah, mengapa dominan orang-orang yang telah tercerahkan ilmu pengetahuan umumnya tak lagi suka dengan agama?
Seperti sudah saya sebut tadi, seharusnya terdapat ke-insyaf-an spiritual dari kekaguman ilmu pengetahuan atas kompleksitas yang luar biasa, bahwa makin kita mendapat pengetahuan, rasanya semakin banyak lagi hal yang justru makin kita tak ketahui. Itu pencerahan yang jujur dari ilmu pengetahuan.
Kalau pun ada yang tak suka dengan “praktik” agama, mungkin lebih dikarenakan adanya persoalan-persoalan pribadi lain secara sosial. Harus diakui bahwa ada juga masanya ketika Gereja Vatikan di Eropa, misalnya, yang kejam terhadap mereka-mereka yang bekerja dengan ilmu pengetahuan. Suatu hal yang saat ini tentu disesalkan oleh siapapun, baik oleh kaum gereja sendiri. Gereja memang perlu lebih “ramah” pada masyarakat ilmu pengetahuan.
Sebagai seorang ilmuwan yang beragama Kristen, apa yang Anda ingin sampaikan tentang perlunya beriman, percaya Tuhan ada?
Yang jelas, pencerahan ilmu pengetahuan akan menjadikan seseorang yang jujur dapat menjadi lebih dalam spiritualitasnya. Kembali pada analogi saya tadi, seorang pemain sepak bola dapat memberi komentar yang bermutu saat menjadi komentator sebuah pertandingan sepak bola. Sebaliknya, seorang komentator sepak bola perlu menjaga kesehatan dengan ikut berolahraga, ikut bermain sepak bola di lapangan…
Keterangan:
Wawancara ini pernah dimuat di tabloid Agape edisi, Oktober 2016