Mengapa Pemekaran Tapanuli Dipersulit?
Indonesia Bergulat dalam Paradoks
Menyikapi konflik tersebut di atas, bagaimana strategi pemecahan masalah yang menjadi pilihan? Jika rumusan permasalahan gerakan pembentukan Protap dideskripsi sebagai konspirasi kejahatan, apalagi berkandungan separatisme maka mempedomani cara rezim Orde Baru, pilihannya adalah dengan pendekatan keamanan menghancurkan para aktor intelektual, pengurus, pendukung dan pendana pembentukan Protap sampai ke akar-akarnya. Pasal-pasal pidana hukuman mati KUHP pilihan itu.
Pilihan kedua, para penguasa pengambil keputusan Gubernur Sumut, DPRD Sumut dan Pemerintah RI tidak lagi mengulangi kesalahan penguasa Orde Baru, tetapi memilih strategi merebut hati rakyat Tapanuli Win the hearts and the minds of the people.
Dengan bermottokan “kalau bisa mempermudah, mengapa mempersulit” Gubernur Sumut Syamsul Arifin sudah memberi persetujuannya terhadap Protap. Kalau ingin merebut hati rakyat Tapanuli, seyogianya Presiden SBY dalam kapasitasnya sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat dan Wapres Jusuf Kalla dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Partai Golkar turun tangan agar Partai Demokrat dan partai Golkar di DPRD Sumut tidak terus-terusan ngotot menjadi penghalang, tetapi segera memberi persetujuan atas pemekaran Tapanuli menjadi dua provinsi. Putusan segera seperti itu akan membebaskan Tapanuli dari kemungkinan menjadi Maluku ke-2.
Tentu saja, penegakan hukum terhadap oknum-oknum pelaku penganiayaan terhadap H. Abdul Azis Angkat adalah sesuai UUD 1945 yang bersendikan hukum. Mengapa pemekaran Tapanuli dipersulit, kalau dapat dipermudah? Acara “Debat” Tv One (26/2/2009) Hasbullah Hadi, Wakil Ketua DPRD Sumut dari Partai Demokrat dan Dr. Idris Marham anggota DPR dari Partai Golkar tampil menolak pemekaran Tapanuli.
Kalau kepatriotan penggagas dan pendukung pemekaran Tapanuli masih dicurigai, pilihan terakhir adalah masihkah harus mendengar argumentasi penolakan Hasbullah Hadi dan Idris Marham, yang keduaduanya bukan orang Tapanuli atau menghargai kedaulatan rakyat Tapanuli.
Pemerintah RI telah rela memerdekakan Timor Timur referendum (30/8/1999). Pemerintah RI lewat kesepakatan Helsinki (15/8/2005) telah memberi konsesi-konsesi istimewa kepada rakyat Aceh. Kalau pemerintah RI tidak mau dituduh melakukan pembiaran terhadap penderitaan rakyat Tapanuli, adalah adil memberi rakyat Tapanuli kesempatan jajak pendapat “setuju atau tidak Tapanuli dimekarkan menjadi dua provinsi”, tentu saja dalam bingkai NKRI.
Keterangan
Tulisan ini pernah diterbitkan Suara Pembaruan, 17/3/2009. Penulis dikenal sebagai aktivis pers yang memperjuangkan kebebasan bersuara di Indonesia. Dia ikut merumuskan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Sabam Leo Batubara meninggal di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), Jakarta Pusat, Rabu, 29/8/2018. Almarhum meninggal di usia 79 tahun.