Pemimpin Partai Mesti Memahami ‘strict liability’ dan ‘vicarious liability’ sebagai Pertanggungjawaban Moral
Hukuman mati dianut di negera ini, tetapi mengapa untuk koruptor tidak pernah ada hukuman mati?
Hukum kita mesti perlu diperbaiki. Jika menggunakan hukum yang sekarang, maka kita harus menggunakan metode pembuktian hukum terbalik. Perlu dipertanyakan dari mana hartanya? Bayar nggak pajaknya? Jikalau tidak dibayar pajak dan tidak jelas asal-usul hartanya, rampas saja untuk Negara. Harusnya begitu. Oleh karena kalau penyidik mesti membuktikan, jaksa yang harus membuktikan harta orang dari mana penyidik itu, kan. Tetapi kalau yang bersangkutan harus membuktikan hartanya di mana, pasti tahu kalau jalannya benar, apalagi kalau jalannya tidak benar itu pasti tersimpan di dalam. Jadi hukum kita harus diperbaiki. Koruptor pun tak perlu dihukum lama-lama tapi ringkas saja, cukup setahun dua tahun yang penting hartanya disita dan dipekerjakan jadi pekerja sosial. Setelah satu tahun dua tahun, dia diberi sertifikat bahwa dia sudah layak bergabung dengan masyarakat. Namun faktanya sekarang ini orang dihukum lama-lama, tetapi tidak dibina, yang ada disalahgunakan.
Jadi tidak perlu lama-lama orang dihukum?
Iya, cukup setahun dua tahun, tetapi betul-betul dibina.
Cara membina bagaimana?
Iya tadi, dibawa jadi pekerja sosial di siang hari. Diinapkan malam hari, kalau melakukan kejahatan korupsi dia jadi pekerja sosial. Hartanya dirampas dan harta keluarga dan istri anak-anak dan kroni-kroninya disita.
Di Indonesia ini kan belum pernah ada yang korupsi dihukum mati….
Faktanya begitu ya, belum ada karena para koruptor itu yang berkuasa, dan yang melakukan hukuman mati juga kekuasaan. Penguasa juga atau political will itu atau keinginan politik ada pada penguasa, maka sesama koruptor tidak mungkin menerapkan hukuman mati kepada sesamanya.
Mengapa koruptor tidak dihukum, mati padahal inilah yang paling merongrong negara ini, dibanding kejahatan lain sedangkan kejahatan lain seperti Bandar Narkoba dan Teroris dihukum mati?
Kasus pembunuhan atau kasus narkoba sudah banyak yang dihukum mati. Padahal justru yang paling merusak koruptor, korupsi. Tetapi paling tidak mungkin dari segi pemahaman politik tidak mungkin dihukum mati, apalagi partai dari koruptor itu yang berkuasa, dan dia kesayangan ketua umum partai berkuasa. Makanya dia bisa ditempatkan di situ dari sekian juta kader partai, penguasa dia yang terpilih berarti kesayangan tidak mungkin dia orang buangan partai politik. Akan berbagai cara mereka akan menentang hukuman mati, itu itulah bentuk ketidakkonsistenan daripada politisi-politisi partai berkuasa. Mereka sudah saling memaklumi tidak mungkin ada itu. Cuman hukuman mati itu hanya dalam aspek legal saja tapi tidak diterapkan.
Maka partai mesti dikritisi?
Mestinya harus diberi sanksi. Sanksi pembubaran partai politik, apalagi presiden dalam hal ini Jokowi apalagi dia tidak ada lagi punya beban politik karena sudah dua periode. Presiden harus mengeluarkan perpu apabila kader-kadernya korupsi. Misalnya, terbukti dua atau tiga kali kadarnya korupsi, harus mengeluarkan perpu, pembubaran partai politik, supaya ada tanggung-jawab ketua umum. Jangan ketua umumnya dan atau pengurus lainnya, misalnya menerima mahar, mahar politik tapi ketika kadernya tertangkap dia cuci tangan. Supaya sesuai Pancasila ketika ketangkap, tapi ketika diantar misalnya, uang mahar itu diingatkan enggak kan begitu dilarang enggak kenapa diterima.
Jadi inilah bentuk kemunafikan maka supaya tidak ada lagi bentuk kemunafikan, maka presiden sebagai penguasa atau kepala negara dan kepala pemerintahan yang juga bertanggung jawab terhadap jalannya sistem hukum di Republik ini, dia harus berani mengeluarkan perpu bahwa apabila kader partai korupsi ukurannya dua sampai tiga kali terbukti harus diberi sanksi. Oleh karena di dalam aspek hukum kita itu ada namanya tanggung jawab mutlak atau strict liability sama vicarious liability adalah suatu konsep pertanggungjawaban seseorang atas kesalahan yang dilakukan orang lain. Itu harus diterapkan.