Sitor: Sastra dan Politik
Oleh : Hotman J Lumban Gaol (Hojot Marluga)
Raja Usu, demikian nama yang diberikan Ompu Babiat kepada anaknya yang kemudian masyhur menjadi penyair dan budayawan dengan nama Sitor Situmorang. Ompu Babiat meninggal pada usia 123 tahun. Ompu Babiat adalah panglima perang dari Sisingamangaraja XII yang mendirikan benteng perlawanan terhadap penjajah Belanda di Lintong. Menurut pengakuan Sitor, walau Ompu Babiat dibaptis oleh Zending, namun sampai akhir hayatnya dia tetap menjalankan ritus agama Batak. “Dia tidak makan daging babi. Berambut gondrong, mengunyah sirih, dan tidak pernah menggunakan angkutan modern (mobil) ke mana pun dia pergi. Dia mirip seperti orang Badui Dalam, mempertahankan budaya nenek-moyangnya.” Lukisan lahiriah ayahnya itu direkam Sitor dalam otobiografi Sitor Situmorang seorang satrawan 45 peyair Danau Toba. Riwayat hidup tersebut ditulis 30 tahun lalu, takkala sang penyair berumur 55 tahun. Sekarang, Puji Tuhan, panjang usianya, dia berusia 85 tahun.
Sitor adalah anak kelima dari sembilan bersaudara. Lahir 2 Oktober 1924 di lembah yang menghampar untuk mengilhami penyair dan para pemuja keindahan, sebuah desa yang bernama Harianboho. Desa tersebut berada di luar pulo Samosir. Dalam salah satu sajaknya, Sitor menyebut Harianboho sebagai lembah yang kekal. Sitor adalah sundut atau tingkatan marga ke-18 dari Situmorang.
Sebenarnya asal-usul marga mereka dari Urat, Samosir. Tahun 1908, setelah Perang Batak usai, berakhir dengan wafatnya sang Raja Batak Sisingamangaraja XII, Ompu Babiat pun menyerah pada Belanda dan membangun kehidupan yang baru di Harianboho, keluar dari Samosir. Di sanalah Sitor lahir dan dibesarkan hingga remaja. Untuk mengenang lembah kekalnya, Sitor menulis sajak “Harianboho.” Sajak yang selalu mengingatkannya pada lembah kekekalan, lembah Harianboho, yang tiada duanya. Ke mana pun dia mengembara, di kaki langit yang mana pun dia berpijak, kenangan pada Harianboho tidak terlupakan. Lembah yang kekal itu dia dendangkan dalam sajak berjudul Harianboho:
’Ku yakin menemukan jalan selalu
kembali padamu,
jalan pulang ke landai
di tepi danau
sepanjang pantai
’Ku yakin selalu padamu kembali
di akhir nanti,
saat kembara berakhir,
tiba saat pada musafir.
Di lading dan gerbang
negei-negeri ramah, tapi asing,
kau pun terkenang.
Betapa sering,
puluhan tahun negeri orang,
jadi tamu ragam cinta,
namun penumpang jua.
Karena ketentuan masalalu,
tak dapat diulang,
lahir sekali di pangkuanmu.
Ingatan jadi keyakinan terang.
Di seberang aku berada
kau di telapak terbawa,
menanti di tiap langkah
batu-batu lembah semula.
Cintanya bukan hanya pada Harianboho, juga pada Danau Toba dan Tanah Batak secara umum. Sajaknya, “Angin dan Air Danau Toba” menceritakan saat-saat Sitor muda, dengan menumpang perahu meninggalkan rumahnya di tepi barat laut Danau Toba untuk melanjutkan pendidikan. Keterikantannya pada negeri Batak seakan tak terlerai. Masa kanak-kanaknya, kehidupan dan tata cara yang direndam dalam mitos Batak kuno menjadi sesuatu yang musykil untuk terlupakan oleh Sitor. Sitor yang berarti berputar-putar dibuatnya Ibunya kalau sedang mencarinya, saking lasaknya ketika masih kecil. Sifat yang ketika dia tumbuh dewasa menjadikannya seorang pengembara, pulang dan pergi ke beberapa negeri Eropa, terutama Belanda, negeri asal istrinya yang kedua, Barbara Brower.
Sitor kecil dididik dalam tradisi pendidikan Belanda. Mengenyam sekolah Hollands Inlands School (HIS) semacam sekolah dasar di Balige dan Sibolga, yang kemudian dilanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), setara SMP sekarang, di Tarutung, dan Algemeene Middelbare School (AMS) setara SMA di Jakarta yang masih bernama Belanda, Batavia.
Saat duduk di MULO Tarutung, dia mengalami banyak perubahan, seperti seorang manusia purba yang melihat dunia baru, peradaban yang asing untuk nenek-moyangnya. Untuk pertama kali melihat mobil dan merasakan sensasi menonton film. Pertemuan Sitor dengan sastra adalah ketika dia membaca “Max Havelaar,” karangan Murtatuli. Buku tersebut dia temukan di perpustakaan kakaknya.