Pdt. Banner Siburian, M.Th, Calon Sekretaris Jenderal HKBP; Perjalanan Jauh Melayani 30-an Tahun di HKBP Menuju Pengelolaan Keadministrasian ‘Data yang Tertata’ Lebih Baik


Notice: Undefined index: margin_above in /home/suaratap/public_html/wp-content/plugins/ultimate-social-media-icons/libs/controllers/sfsiocns_OnPosts.php on line 652

Notice: Undefined index: margin_below in /home/suaratap/public_html/wp-content/plugins/ultimate-social-media-icons/libs/controllers/sfsiocns_OnPosts.php on line 653

Suaratapian.com-JalanKu bukan jalanmu, rancanganmu bukan rancanganku demikian firman Tuhan, terasa pekat di jalan hidup Pdt Banner Siburian MTh. Pria kelahiran  Paranginan, 21 November 1966 ini, lahir di Desa Lumban Barat, Kecamatan Paranginan, Kabupaten Humbang Hasundutan (Paranginan sendiri kawasan di atas Danau Toba, dekat dengan Bandara Udara Silangit sekarang). Kisahnya pelayanan Pdt Banner Siburian awalnya tak bercita-cita menjadi pendeta, tetapi tangan Tuhan membawanya menjadi hambaNya. Di masa kecilnya bersekolah minggu di HKBP Lumban Barat, Resort Paranginan, banyak membekali pemahaman antara mitologi budaya dan ajaran Kristen. Ada semacam dualisme. Sebelumnya, dia banyak mendapat cerita menjelang tidur tentang mistis dari neneknya yang belum melek tentang ajaran Kristen. Neneknya, selalu mengisahkan tentang sumangot (roh orang yang meninggal).

Kisah yang diceritakan neneknya sudah tentu saling berbenturan dengan yang diterimanya di sekolah minggu. Di umur sebelia itu, dia, sudah berpikir antara dualisme; pemahaman yang belum dicerahkan oleh Injil dengan spirit Injil. Namun dia beruntung, ajaran yang didapatnya di Sekolah Minggu, misalnya kisah tentang Sodom dan Gomora adalah kisah yang sangat luarbiasa memberi pesan agar jangan lagi melihat masa lalu. “Kisah itu mengajari saya, mengarahkan saya agar selalu memandang ke depan, tidak mengingat-ingat masa lalu,” ujarnya.

Sekolah Dasar dan SMP dilaluinya di Paranginan. Di SMP semangat melayani sudah makin dalam di hatinya. Lalu, di SMA dia pun aktif menjadi aktivis pemuda gereja. Namun ketika SMA dia harus pindah sekolah ke Kecamatan Siborongborong, bersekolah di SMA Negeri Siborongborong, karena di Paranginan waktu itu belum ada SMA, dia terpaksa harus indekos di Siborongborong. Sebenarnya anak dari Paranginan jarang sekolah ke Siborongborong, umumnya melanjutkan SMA ke Kecamatan Lintong Nihuta, kecamatan yang lebih dekat dengan kampungnya.

Jarak antara Paranginan ke Siborongborong lumayan jauh. Maka jadilah dirinya anak kos, tentu itu malah melatih mentalnya bertanggung jawab pada kehidupannya sendiri, termasuk harus memasak sendiri. Dia dilatih mandiri. Lagi-lagi, pengalaman indekos itu melatih kemandiriannya, dan mengajarkan sikap mandiri padanya.

Tentu, sikap kemandirian tidak bisa dibentuk instan, membutuhkan proses untuk mengasuh kesabaran, sikap dan tingkah laku. Hanya sekali dalam seminggu kembali ke kampung halaman di Paranginan. Di Siborongborong dia dekat dengan seorang guru yang sekaligus pendeta di GKPI Siborongborong, S Situmorang.

Oleh kedekatan itu, dia diajar, dan hal membawa banyak implikasi bagi pemahamannya yang makin luas. Bahkan, dirinya dipercaya menjadi ketua naposo dan pemandu lagu di GKPI Siborongborong. “Saya dipercayakan membantu tugas pendeta. Oleh hubungan kedekatan ini, setidak-tidaknya membantu membetuk karakter dan mental saya untuk makin berani dalam pelayanan,” kenangnya.

Dari kisah hidup keluarga pendeta Situmorang tersebut, dia banyak mendapat bekal pemahaman rohani, terbiasa melihat dan mengamati ritme hidup keluarga pendeta. Bagimana bersaat teduh dengan anak-anaknya, bagaimana melayani dan memimpin jemaat setidak-tidaknya memberi semangat untuk dirinya untuk juga meniru karakter gurunya. Dia merasakan kehidupan rohani (spiritual life); memiliki gairah rohani. Kehidupan doa, iman, dan ibadah.

“Saya kira pembentukan jiwa seseorang dimulai dari rumah,” tambahnya lagi. Di SMA dia merasakan suasana yang bahagia oleh pertumbuhan rohani. Walau waktu itu, belum ada cita-citanya menjadi pendeta, malah yang terbetik ingin jadi dokter.

“Sebenarnya cita-cita saya ingin menjadi dokter, tentu oleh karena kisah orangtua. Bahwa seorang dokter jika sekali menghormati pasiennya bisa membiayai hidupnya minimal satu bulan,” kisahnya. Oleh karena itu, ketika lulus SMA dia langsung mendaftarkan diri ke Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Hidup memang harus terus mengalir. Seleksi penerimaanya menyebut dia tak diterima menjadi mahasiswa kedokteran, tetapi tak membuat dirinya patah arang, dia menganti dengan mengikuti berbagai kursus bahasa Inggris dan kursus mengetik sepuluh jari. “Saya mengikuti kursus mengetik sepuluh jari, sebab dulu belum ada computer. Sebenarnya, maksudnya kalau-kalau tahun berikutnya bisa lagi test ke perguruan tinggi negeri,” tambahnya.

Di sela-sela mengikuti berbagai kursus itu, dirinya aktif di gereja HKBP Seagun Medan, Medan Barat, jauhnya hanya sepelemparan batu dari kampus. Keaktifan di gereja diteguhkan sering mengikuti kebaktian. Satu khotbah tentang; banyak yang terpanggil tetapi sedikit yang terpilih. Khotbah yang disampaikan pendeta W Silitonga, pendeta tersebut pendeta pensiunan tentara yang sangat banyak menulis lagu.

Tentu, yang membuatnya tersentuh adalah tentang penjabaran khotbah, makna menjadi pelayan. Pengkhotbah itu apik menjelaskan, begitu luas lahan tetapi hanya sedikit pekerjaan, maka masih dibutuhkan banyak pekerja yang memberi diri. “Yang membuat saya tersentuh, pendeta itu mengatakan, HKBP gerejanya sangat banyak, tetapi pendetanya sangat sedikit. Saat mengakhiri khotbahnya pendeta menantang jemaat, siapakah yang rela memberi diri untuk menambah yang sedikit ini?”

Jemaat HKBP Rawamangun Gelar “Borhatborhat” Berangkatkan Pdt Banner Siburian Calon Sekjen Ke Sinode

Khotbah itulah yang terus terngiang-ngiang di telinganya. Dia tersentuh, mendorong hatinya jadi pendeta, mengambil keputusan dan membulatkan tekad untuk sekolah pendeta, dan mendaftar di sekolah teologia Nommensen, Pematang Siantar. Ternyata, pendeta W Silitonga juga dosen musik gereja di STT Nommensen.

Tahun 1986 dia masuk kuliah dan lulus tahun 1991. Ditahbiskan ephorus waktu itu Pdt Dr. SAE Nababan setelah dua tahun lebih menjadi vikaris, semacam praktik lapangan sebelum ditahbiskan menjadi pendeta. Waktu itu, SAE Nababan sebagai ephorus HKBP membuat kebijakan bahwa setiap mahasiswa yang lulus dari STT Nommensen tidak boleh langsung diterima menjadi pendeta HKBP, harus diberi jeda panjang vikaris. Itu sebab, dirinya setelah lulus mesti mengikuti vikaris di HKBP Pamela di PTP IV di wilayah Lubuk Pakam lebih lama.

Hojot Marluga

Belajar Filosofi Air

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

13 − 8 =