Tak Ada Ganti Rugi Atas Lahan Masyarakat, Pengacara Jupryanto Menggugat Presiden, Menteri dan Gubernur

Saya kira sistemnya ini bukan hanya terjadi di Manggarai Barat, di banyak tempat banyak terjadi. Jadi bukan hanya kasus di Manggarai Barat ini. Oleh karena kita sama-sama putra Humbang, hal yang sama ketidaksinkronan antara pusat dan daerah. Kebijakan pusat yang membuat food estate untuk kepentingan masyarakat. Satu ide bagus pemerintah pusat, tetapi ternyata tidak bisa diterjemahkan oleh pemerintah daerah dalam hal ini Humbang. Saya kira gagal karena tak ada sinkronisasi. Dari pengalaman ini dua ini apa yang bisa dipetik?

Contohnya, kalau kita lihat, gagal panen semua rata-rata karena apa? Apa karena jenis tanaman. Itu perlu dikaji. Apa yang cocok dengan lingkungan seperti ini, seperti kultur tanah seperti ini, banyak kita yang ahli-ahli dalam bidang pertanian, termasuk bibit, katanya, ada yang menyebut, bahwa bibit itu memang bukan bibit unggul yang benar-benar.

Katanya, memang bibitnya sejak awal juga tak bisa digunakan, tak layak dijadikan bibit….

Makanya segala sesuatunya sebelum kita berlanjut perlu perencanaan, karena ini kan bukan bukan pengeluaran kecil, dari anggaran negara yang cuma sepuluh ribu atau ratusan ribu. Ini harus dipertanggungjawabkan oleh pemerintah daerah pada pusat. Benar-benar nggak pengadaan proyek ini dikerjakan dengan baik. Dipikirkan nggak keberlangsungan daripada kehidupan masyarakat itu terjamin. Faktanya kita lihat di lapangan akibat daripada food estate itu ada orang-orang pihak-pihak tertentu memanfaatkan lahan ini. Inilah yang terjadi persoalan di masyarakat. Suatu hal yang disayangkan. Saya juga dengar soal perjuangan KESATUPADU, memperjuangkan tanah-tanah wilayah di daerah kita. Tetapi sepanjang saya lihat mereka hanya sebatas surat, bertemu dengan pejabat, kalau saya melihat ini tidak akan berhasil. Jikalau kita nggak bikin gebrakan, yang memang harus memperjuangkan hak, tentu segala upaya cara pun akan kita lakukan.

Itulah kalau saya dalam hal memperjuangkan kepentingan klien. Saya berharap mereka bikin satu upaya hukum, tentukan ada pengklaiman terhadap masyarakat adat, pasti ada produk hukum yang mengatur itu, sehingga pemerintah dalam hal ini kementerian kehutanan tak seenaknya mencaplok tanah rakyat. Informasi yang saya tahu pasti ada, didasari surat keputusan. Diujilah Surat Keputusan itu di pengadilan.

Jadi seperti benang kusut ini. Tadi, kan, kita bicara soal food estate yang gagal. Mengapa  saya sebut benang kusut disebutkan KESATUPADU, itu komunitas dari anak rantau yang bertepatan asal yang sama dari Bupati Humbang. Mereka memperjuangkan tanah mereka yang diambil alih pemerintah, dalam hal ini kementerian kehutanan. Ini kan sesuatu hal yang agak janggal, harusnya ini bisa clear. Sudah mereka perjuangkan sampai sekarang sudah banyak yang mempublis dan pemerintah pusat sebenarnya sudah datang, tetapi sepertinya tak ada penyelesaian yang konkrit. Apa penyelesaiannya?

Usul saya untuk pengambilan tindakan dalam penyelesaian perkara, pengidentifikasian. Saya punya feeling itu tidak akan beres, walaupun ditemukan banyak pelanggaran.

Mengapa?

Saya buat satu contoh kasus. Kita bicara dulu Kementerian Hukum dan HAM. Sekarang banyak orang-orang di Kementerian Hukum dan HAM yang memanfaatkan ini. Ibaratnya kita pemegang saham kita kepada orang lain, hanya ada oknum di sana, tanpa mekanisme peraturan perundang-undangan, lagi-lagi karena tadi otonomi daerah, pemerintah daerah berhak seperti mengatur, begitu iya.

Bukan hanya membahas untuk pemerintah daerah, jadi ketika pemerintah pusat bersih tentu dia bisa menekan pemerintahan daerah, kalau pemerintahan pusat kemarin menekan pemerintah daerah sebenarnya moral ini yang harus dipertanyakan. Walaupun pemerintah sekarang ini kualitasnya seperti yang saya bilang tadi, dalam hal ada pelanggaran, ada cerita lain, praktek yang dilakukan oleh pemerintah ini di daerah terhadap masyarakat. Kementerian Hukum dan HAM ada akta sudah jelas-jelas notaris mengatakan, akta itu tidak pernah saya buat akta itu palsu, saya nggak pernah upload, bahkan notaris bersurat ke Kementerian Hukum dan HAM. Tetapi jawaban oknum dari Kementerian jawabannya,

“Silakan tempuh upaya proses hukum. Apa kata putusan pengadilan itu yang kami ikuti.” Berarti dia nggak punya power, tak punya kebijakan. Jadi selalu berlindung dengan upaya hukum, juga terkaitkan di Humbang (Parsingguran) itu, kan jawaban yang sama diberikan, kalau kalian merasa hak dan kepentingan kalian dirugikan silahkan tempuh upaya hukum akan itu yang ada. Jadi tidak ada lagi analisa kebijakan-kebijakan kalau demikian, tumpang tindih. Artinya kita bisa menyebut otonomi daerah ini sebenarnya gagal, karena pemerintah pusat

tak bisa juga mengawasi, menekan pemerintah daerah. Kalau kita bicara Humbang, apakah ini hanya kesalahan pemerintahan pusat atau pemerintah daerah? Ini perlu ditelusuri. Siapa yang membuat SK-nya, apakah Menteri Kehutanan atau hanya  kabupaten, dan tidak mungkin  pemimpin daerah dalam hal ini bupati yang pasti tahu sekarang ini yang saya bilang kepala daerah, kebanyakan berbicara, kepentingan bukan bicara keberlangsungan masyarakat. Itulah yang saya bilang kalau ini kita kebetulan menyinggung tentang Pilkada untuk kepentingan otonomi daerah. Ini tujuannya, apakah nantinya terjamin, kita bisa dapat menentukan pemimpin yang berkualitas, yang benar melindungi masyarakat dengan mekanisme sistem yang seperti ini.

Kita sudah hampir temukan tadi benang kusutnya, ternyata bisa kita sebut, bahwa masalah otonomi daerah itu kembali ke kita masa lalu, seperti Orde Baru, yang lalu semua dilaksanakan oleh pusat, kebijakan dari pusat, jadi tidak ada otonomi daerah?

Itulah yang seharusnya. Sebenarnya kalau seandainya bagus berjalan, itu sangat bagus. Cuma yang katanya praktek pelaksanaannya berbeda dengan teori. Yang terjadi kita saksikan tidak ada keharmonisan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Jadi akhirnya merasa terputus. Sebenarnya pemerintah daerah itu tidak bisa semacam kerajaan-kerajaan kecil yang berkuasa, karena lain sebut tadi bahwa ada oknum.  Juga masalahnya pengurus-pengurus dari pusat juga nggak bersih, bisa terjadi Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM dimana seseorang bisa kehilangan hak akibat dari adanya peralihan saham yang digunakan orang lain. Akta itu ada pencatatan, data di Kementerian Hukum dan HAM. Tetapi bisa dicatat saham itu sama orang lain tanpa ada prosedur yang menyertai. Maka mestinya ketika ada meragukan dokumen ini, datanglah notaris karena dia yang buat produk dan menyebut, dia nggak pernah buat produk itu. Itu palsu. Karena itu merugikan orang lain, disampaikan Kementerian, datang Kementerian, jawabannya apa silahkan tempuh upaya

Harusnya dia menganalisa, panggil, klarifikasi. Benar nggak ada pelanggaran dari mana, tetapi sesungguhnya bukan istrinya, tetapi oknumnya, berarti pengawasan pemerintah terhadap penyelenggaraan sudah berkurang. Kalau dulu kita bicara ancaman Orde Baru, dibilang pelanggaran terjadi untuk dilakukan oleh, kalau kita lihat karena takut kalau sekarang tapi sekarang apa jadi sangat menganggapresiasi kebijakan yang dibuat oleh Ephorus HKBP dengan sentralisasi.

Mudah-mudahan berhasil, tetapi masih ada pro kontra. Kita melihat dampak akibat otonomi itu diberikan ke gereja-gereja. Mengapa tidak merata, orang pun pelan-pelan itu. Secara ekonomis ada di situ, dia terus nggak mau pindah, kan masalahnya gereja-gereja besar sebagai sumber dana besarnya di Jakarta. Kita sebutlah 100 gereja terbesar di Jakarta itu kan penyumbang dana di HKBP. Namun sentralisasi yang disebut itu kan, 55% nantinya ke pusat. Tetapi ini yang belum tentu diketahui semua orang. Apakah gereja-gereja besar itu ikhlas memahami bahwa sebenarnya karena niat awal sentralisasi ini agar subsidi silang, yang kaya bisa mensubsidi yang daerah miskin. Ada lagi misalnya rivalitas pendeta di desa secara penghasilan lebih besar. Jadi kalau sama penghasilan tidak ada lagi kecemburuan. Ini kan kecemburuan terjadi…

Makanya, mengapa saya apresiasi kebijakan yang dibuat Ephorus yang terbaru ini. Saya sangat setuju dengan sentralisasi, karena mengurangi tingkat persoalan-persoalan yang terjadi di Gereja HKBP, kita akan membicarakan pimpinan-pimpinan Gereja HKBP, itu kan Ephorus menyadari bahwa otonomi ini sudah kebablasan, yang diberikan ke gereja-gereja ini intervensi pusat harus ada iya karena dia merasa ini otonomi yang gagal sehingga dia buat terobosan baru, sentralisasi. Kalau tidak ada sentralisasi, siapa yang mau pergi ke kampung, ke pedalaman.

Kalau kita kembali ke tema awal tadi, kita kan memang masih dalam ranah yang membicarakan otonomi kan sebenarnya tapi apakah kalau misalnya kita dengungkan ini kembali ke otonomi di masa lalu, pusat mengendalikan segala pemerintahan, bisa nggak kita daerah misalnya pimpinan daerah yang selama ini sudah ada raja, bupati sudah raja, gubernur juga merasa raja, dengan otonomi yang kita mau cari ini pasti kita bisa membuat pembanding dengan sistem pemerintahan, sekarang ini yang secara langsung ini dengan sistem pemerintah otonomi ini…

Apa yang dialami, ketakutan apa kita selamanya menjadi masyarakat, akan takut kepada pemerintah. Karena kita takut. Ketakutan-ketakutan inilah yang kita hilangkan, kedua kalau dulu memang anggaran yang mengatur pusat. Di sinilah saya bilang, kalau pusat menerapkan aturannya dengan baik,  tidak akan terjadi ketidakjujuran.

Jadi saya tangkap pembicaraan kita, biang kerok semuanya ini otonomi daerah yang kebablasan. Satu kelebihan otonomi daerah adalah pemerintah daerah berhak membuat perda-perda. Namun perda yang tidak bisa diawasi pusat kan, banyak…

Kita kembali ke Humbang, yang paling sedih saya alamiah ini ketika masyarakat di sana itu  sebagian dari hidup dari petani keramba. Tetapi dengan otoriter pemda memaksakan kehendak.Ketika saya pulang bulan Desember lalu, saya kan hanya berlibur sama keluarga. Saat itu  dari pemerintah hendak melakukan eksekusi atas keramba, saya datang pada saat eksekusi itu.

Awalnya tiba-tiba ibu-ibu pada datang ke rumah saya, minta tolong karena saya dikenal pengacara di Jakarta. Ada orang minta tolong, saya nggak tahu apakah masyarakat yang salah atau pemerintah. Tetapi setelah saya sampai di lokasi saya melihat polisi, ada satpol PP. Maka saya minta apa dasar kalian untuk melakukan eksekusi, mereka katakana kesepakatan antara bupati artinya, pemerintah Humbang, Kejaksaan, Kepolisian tetapi tanpa melibatkan unsur masyarakat berunding. Bagaimana dieksekusi, penduduk di sekitar kawasan Danau Toba yang ada di Bakara itu tak dilibatkan. Pemerintah daerah dengan otoritasnya menghilangkan keramba. Padahal pemerintah pusat jelas instruksinya, kalau kalian mau menghilangkan keramba di masyarakat harusnya melibatkan masyarakat. Ini yang utama. Tetapi pelaksanaan di daerah tak begitu.

Hojot Marluga

Belajar Filosofi Air

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 + 5 =